Penyusun : Tri Harjanto & Alif Jum’an
Menurut Dr. Jawwad ‘Ali, kata shalat berasal dari bahasa Aramaic (bahasa ibu Yesus Kristus dan bahasa ash sebagian besar Kitab Daniel dan Ezra serta bahasa utama Talmud) dari suku kata shad-lam-alif ; ﺻﻼ yang memiliki arti rukuk, atau merunduk (inhina). Istilah “shalat” digunakan untuk merepresentasikan praktik ritual keagamaan, dan kata “shalat” ini kemudian digunakan oleh kalangan Yahudi sehingga sejak saat itu kata “shalat” menjadi bahasa Aramaic-Ibrani. Umat Yahudi menggunakan kata “shalutah” pada masa akhir periode Taurat. Hal ini dikuatkan oleh pendapat seorang sahabat terkemuka, Ibnu Abbas, yang menyatakan bahwa kata “shala” berasal dari bahasa Ibrani “shaluta” yang bermakna “tempat ibadah Yahudi”. Istilah “shaluta” sendiri pada perkembangannya masuk ke dalam bahasa Arab melalui tradisi Judeo-Kristiani dan kontak interaktif dengan komunitas Yahudi Ahli Kitab. Begitulah pemaparan awal Dr. Jawwad ‘Ali tentang shalat yang ditelaahnya secara filologis.
Dikemukakan pula bahwa berdasarkan syair Jahiliyah, terdapat keterangan yang mengisyaratkan adanya informasi perihal ibadah kaum Yahudi dan Nasrani, yang mencakup gerakan rukuk, sujud, dan membaca tasbih. Shalat-shalat kaum Yahudi dan Nasrani pada umumnya tidaklah dikenal oleh kaum Jahiliyah-pagan. Namun, bagi sebagian kaum Jahiliyah yang pernah berinteraksi dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani pada masa itu, ritual shalat orang-orang Yahudi dan Nasrani betul-betul mereka ketahui. Kaum pagan yang selalu melaksanakan haji pada musim-musim tertentu dan pada saat itu pun memiliki tata cara tersendiri untuk mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka. Ini menandakan bahwa aktivitas penyem-bahan bernama ritual dikenal oleh komunitas paling primitif sekalipun. Dengan demikian, shalat adalah hal yang bersifat integral dengan semua doktrin agama. Tentu, konsep ritual shalat dalam setiap agama adalah berbeda-beda, pun tata-caranya variatif. Hal ini menjadi concern para pakar studi agama, bahwa suku-suku kuno, bahkan suku Barbar sekalipun, memiliki ritual khusus yang mereka sebut “shalat”. Di antara penemuan arkeolog adalah teks-teks kuno yang dahulu dibaca oleh orang-orang Assyiria dan Babilonia dalam ritual shalat mereka. Indikasi yang menyebutkan adanya praktik ritual shalat di kalangan pagan Makkah, misalnya tertera dalam salah satu ayat Al-Qur’an, surah
al-Anfal ayat 35 : “Do’a-do’a mereka di sekitar Baitullah itu tak lain hanya sekadar siulan dan tepukan tangan”. Hal ini dijelaskan pula oleh para ahli tafsir bahwa kaum Quraisy pagan juga melakukan thawaf dengan telanjang, bersiul, dan bertepuk tangan. Frasa “shalatuhum” dalam ayat di atas artinya “do’a-do’a mereka”, mereka bersiul dan bertepuk tangan sebagai doa dan tasbih.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Shalat Nasrani dan Yahudi"
Post a Comment