CARA SHOLAT
Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya,
bahwa perintah sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul
sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah Sholat ini disebutkan juga
dalam al-Qur’an dilakukan
dengan cara ruku dan sujud. Meski demikian, al-Qur’an tidak memberikan detil lebih jauh
mengenai teknis pengerjaan sholat dalam mewujudkan ruku dan sujud tersebut.
Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia
Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah
ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan
tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi
hadis, baik mereka dari kalangan ahlussunnah maupun syiah sebagai dua aliran
keagamaan terbesar didunia Islam.
Kaum ahlussunnah sangat terkenal dengan
kepercayaan mereka terhadap kitab-kitab hadis catatan dari Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah serta beberapa nama
perawi hadis lainnya. Begitupula halnya dengan kaum Syiah yang terkenal karena
kefanatikannya terhadap Imam-imam dari kalangan ahli bait Nabi secara turun
menurun yang diambil dari garis keturunan puteri beliau Fatimah dan Ali bin Abu
Thalib.
Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam
prakteknya, namun secara umum tata cara sholat yang bisa kita temui dari kedua
aliran ini tidak jauh berbeda antara satu sama lainnya. Karenanya, sisi
perbedaan yang ditemui masih bisa ditoleransikan. Hal inilah yang
mengindikasikan kepada kita bahwa tradisi sholat yang berlaku pada jaman kita
sekarang pasti tidak akan lari terlalu jauh dari yang pernah berlaku dijaman
Nabi. Buku ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum mengenai tata
cara sholat tersebut, baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah dari berbagai
literaturnya..
Sebelum memulai sholat, sudah menjadi
kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah
atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya
perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki – Qs. 5 al-Maaidah: 6
Dalam tradisi yang ada, teknis perintah
berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan
adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur,
menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian
tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam
al-Qur’an. Kita bisa membaca
dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan
oleh Nabi sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita
ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan padang
pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak melekat.
Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta
bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tanganya kemudian
membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan didalam bejana, kemudian
berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua
tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh
kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata :
‘Aku melihat Rasulullah Saw
berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu,
kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan
tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap
kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi
Dari anas, bahwa Nabi Saw apabila berwudhu maka
mengambil seciduk air kemudian memasukkannya dibawah cetaknya lalu ia
menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku memerintahkanku.’ – Riwayat Abu Daud
Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang
kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu
secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya.
Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama
misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok
gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk
melakukannya sebelum kita melakukan sholat.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau
bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman
(dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka
bersiwak setiap kali akan sholat. - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i,
Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami
Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu
menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun
cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih
atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan air.
Dan jika kamu
sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak
mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu
muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha
mengampuni. - Qs. 4 an-Nisaa’
43
Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak
menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu
mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar).
Istilah Allahu Akbar tidak dijumpai dalam
al-Qur’an, sebaliknya
al-Qur’an memperkenalkan
sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah
Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat
tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya.
Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata benda (verb) didalam
bahasa Arab yang jika diucapkan menjadi Akbar, Istilah Takbirah adalah bentuk
noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai dalam tradisi
Arabia.
Surah 17:111
menyebutkan istilah yang artinya agungkanlah Dia dengan pengagungan yang
sebenar-benarnya (Kabbir takbira) dan ini adalah bersamaan maknanya dengan
Allahu Akbar. Kita tidak bisa menolak istilah Allahu Akbar seperti yang dijumpai
dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh sejumlah hadis hanya karena istilah
ini tidak dijumpai didalam al-Qur'an, apalagi menggantinya dengan istilah Allahu
Kabir seperti yang dilakukan oleh sejumlah orang inkar sunnah.
Didalam tradisi, tidak ada satupun terdengar
bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan Allahu Kabir, seandainya
ucapan Allahu Akbar salah dan bertentangan dengan al-Qur'an, tentunya akan
ditegaskan oleh Nabi sendiri, kata al-Kabir sendiri didalam al-Qur'an berarti
Allah yang Besar (ini bertindak sebagai superlatif), sementara kata al-Akbar
sebagaimana didalam Hadist berarti Allah Maha Besar.
Kenapa kita harus sholat ?
Sampai saat ini masih ada sebagian dari umat
Islam menganggap sholat hanya semata-mata sebagai suatu ritualitas dalam agama
yang amalnya akan bermanfaat kelak dihari kiamat selaku penolong dalam
menghadapi siksaan Allah. Padahal pendapat yang demikian ini tidak sepenuhnya
dapat dibenarkan, sebab manusia ini memiliki dua kehidupan yang seimbang; yaitu
kehidupan masa sekarang atau alam duniawi dan kehidupan masa yang akan datang
atau alam akhirat.
Tuhan tidak akan memberikan sesuatu yang
sifatnya tidak seimbang, karena itu juga perintah Sholat tidak hanya berfungsi
dimasa depan semata namun sebaliknya memiliki kegunaan yang vital bagi manusia
dalam menjalani hari-hari kehidupannya dimasa kehidupan yang
sekarang.
Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar
Qs. 29 al-ankabut : 45
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
didalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling tarik-menarik sehingga
menjadikan jiwa condong kesalah satu diantaranya. Unsur tersebut adalah
nilai-nilai positip (unsur malaikat) dan nilai-nilai negatif (unsur setan).
Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik
bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka itu juga untuk dirimu
sendiri - Qs. 17 al-israa’ :
7
Ritualitas sholat dinyatakan didalam
al-Qur’an pada ayat tersebut
sebagai suatu sarana atau wadah untuk mengontrol perbuatan negatif yang
seringkali mendominasi diri manusia. Dengan terjalinnya komunikasi yang baik
dengan Tuhan secara vertikal maka diharapkan secara horisontalpun manusia mampu
berbuat baik kepada sesamanya bahkan lebih jauh kepada semua hamba Tuhan diluar
dirinya.
Namun fakta dilapangan juga membuktikan bahwa
banyak orang Islam yang rajin melakukan sholat namun kelakuan dan sifatnya
justru tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang ada pada surah al-Ankabut ayat 45
tadi, betapa banyak orang yang kelihatannya rajin sholat namun tetap bergunjing,
melakukan zinah, pelecehan seksual, bahkan bila dia seorang penguasa yang
memiliki jabatan akan memanfaatkannya untuk menganiaya orang lain, melakukan
penindasan, korupsi bahkan sampai pada pembunuhan dan peperangan. Inilah contoh
manusia yang telah lalai dalam sholat mereka.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
sholat
Yaitu orang-orang yang melalaikan
sholatnya
Qs. 107 al-maa’uun : 4-5
Bila sudah seperti ini, maka kita patut
memperhatikan firman Allah yang lain :
Luruskan mukamu di setiap sholat
dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
keta'atanmu kepada-Nya - Qs. 7 al-a’raaf 29
Dari ayat tersebut, Allah hendak menyampaikan
kepada manusia bahwa sholat itu memerlukan sikap lahir dan batin yang saling
berkolerasi atau berhubungan. Meluruskan muka adalah memantapkan seluruh gerakan
anggota tubuh dan menyesuaikannya dengan konsentrasi jiwa menghadap sang Maha
Pencipta alam semesta. Disaat mulut membaca al-Fatihah, hati harus mengikutinya
dengan sebisa mungkin memahami secara luas arti al-Fatihah sementara pikiran
berkonsentrasi dengan gerak mulut dan hati, inilah keseimbangan yang
di-istilahkan dengan khusuk dalam ayat berikut :
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, Yaitu orang-orang yang khusuk dalam sholatnya - Qs. 23
al-mu’minuun : 1-2
Jadi, khusuk adalah suatu perbuatan yang
menyeimbangkan gerak lahir dan batin, sehingga terciptalah suatu konsistensi
ketika ia diterapkan dalam kehidupan nyata, sesuai dengan komitmen yang
dilafaskan dalam do’a iftitah
:
Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam - Qs. 6
Al-An'am:162
Akhirnya sholat merupakan ritualitas multi
dimensi yang semuanya mengarah kepada sipelakunya sendiri agar mendapat
kebaikan, baik dalam hal mengontrol diri ketika masih hidup didunia maupun
menjadi amal yang membantu saat penghisaban dihari kiamat kelak.
Lalu siapakah yang lebih baik agamanya selain
orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah sedang diapun mengerjakan
kebaikan ? - Qs. 4 an-Nisaa': 125
Kenapa sholat harus didahului oleh azan
?
Azan adalah seruan sebagai pertanda sudah
masuknya waktu sholat, sekaligus sebagai seruan pemanggil umat agar orang-orang
berkumpul dan bisa melakukan ibadah sholat secara berkelompok atau berjemaah.
Secara kontekstual, tidak ada satu ayatpun didalam al-Qur’an yang menjelaskan perihal azan ini
apalagi mengatur tata cara dan bacaannya, tetapi seruan ini secara umum bisa
dijumpai secara tersirat dari beberapa ayat al-Qur’an.
Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan
syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka
membantah kamu dalam urusan ini dan serulah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu
benar-benar berada pada jalan yang lurus. - Qs. 22 al-Hajj 67
Dan katakanlah: Segala puji bagi Allah Yang
tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak
mempunyai penolong dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang
sebenar-benarnya. - Qs. 17 al-Israa’ 111
Lebih detail lagi, masalah azan ini bisa
dijumpai dalam beberapa hadis sebagai berikut :
Dari Malik bin al-Huwairits, sesungguhnya Nabi
Saw telah bersabda: Apabila waktu sholat telah tiba maka hendaklah salah seorang
diantara kamu adzan untuk sholatmu itu; dan hendaklah yang tertua diantara kamu
itu yang bertindak sebagai imam bagi kamu. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan
Muslim
Riwayat Abdullah bin Umar, ia berkata
:
Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di
Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan waktu Sholat. Tidak ada seorangpun
yang menyeru untuk Sholat. Pada suatu hari mereka membicarakan hal itu. Sebagian
mereka berkata : Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang Kristen.; Sebagian
yang lain berkata : Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi.; Kemudian
Umar berkata : Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang agar berseru untuk
sholat? Rasulullah Saw bersabda : Hai Bilal, bangunlah dan serulah untuk sholat
- Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i dan Ahmad
Rasulullah Saw mempunyai dua muadzin, Bilal dan
Ibnu Ummu Maktum yang buta - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ahmad,
Malik dan al-Darami
Dengan demikian masalah azan seperti ada
tidaknya dalil tertulis didalam al-Qur’an atau apakah ada beberapa perbedaan lafash antara satu jemaah
dengan jemaah yang lainnya tidak harus menjadi suatu permasalahan yang memecah
kesatuan umat dan menghilangkan makna persaudaraan Islam. Sesuatu hal yang
sangat wajar dan alamiah sekali alasannya kenapa "harus ada" adzan untuk sholat.
Saat kita masih sekolah (terutama SD) kita sering melakukan gerak
baris-berbaris, melakukan upacara bendera setiap hari senin pagi, dan untuk
mengumpulkan siswa ditanah lapang biasanya bapak atau ibu guru menekan bel
ataupun memukul lonceng sebagai tanda dan isyarat bahwa waktunya sudah tiba.
Dahulu ketika saya masih aktif mengajar dikelas
web programming, semua murid belum mau berkemas untuk pulang sebelum terdengar
bel, padahal waktu sudah lewat dari jadwal seharusnya, ketika saya tanya " ...
pada nggak mau pulang nih ... ?" ; mereka jawab : "khan belum bel, pak !" ; ya,
mereka menunggu isyarat yang memastikan bahwa waktu untuk pulang memang sudah
tiba. Lalu kenapa juga masalah ada tidaknya adzan didalam al-Quran harus
dipermasalahkan ? Sering saya katakan berulang kali ... jangan terlalu
berlebihan dalam suatu perbuatan, mari kita bumikan ajaran langit sesuai fitrah
kemanusiawian yang ada. Pahamilah agama dengan penuh kewajaran dan kelogisan,
selama sesuatu itu bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan kebaikan maka kenapa
tidak menggunakannya, apalagi Rasul sudah jelas mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari beliau yang bisa dilihat dari sunnah yang ada.
Bagaimana cara sholat didalam Islam
?
Sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya
(lihat artikel saya mengenai kontroversi kisah penjemputan sholat pada peristiwa
Mi'raj Nabi), bahwa perintah sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi
dan Rasul sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah Sholat ini
disebutkan juga dalam al-Qur’an dilakukan dengan cara ruku dan sujud. Meski demikian,
al-Qur’an tidak memberikan
detil lebih jauh mengenai teknis pengerjaan sholat dalam mewujudkan ruku dan
sujud tersebut.
Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia
Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah
ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan
tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi
hadis, baik mereka dari kalangan ahlussunnah maupun syiah sebagai dua aliran
keagamaan terbesar didunia Islam.
Kaum ahlussunnah sangat terkenal dengan
kepercayaan mereka terhadap kitab-kitab hadis catatan dari Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah serta beberapa nama
perawi hadis lainnya. Begitupula halnya dengan kaum Syiah yang terkenal karena
kefanatikannya terhadap Imam-imam dari kalangan ahli bait Nabi secara turun
menurun yang diambil dari garis keturunan puteri beliau Fatimah dan Ali bin Abu
Thalib r.a.
Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam
prakteknya, namun secara umum tata cara sholat yang bisa kita temui dari kedua
aliran ini tidak jauh berbeda antara satu sama lainnya. Karenanya, sisi
perbedaan yang ditemui masih bisa ditoleransikan. Hal inilah yang
mengindikasikan kepada kita bahwa tradisi sholat yang berlaku pada jaman kita
sekarang pasti tidak akan lari terlalu jauh dari yang pernah berlaku dijaman
Nabi. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum mengenai tata
cara sholat tersebut, baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah dari berbagai
literaturnya..
Sebagai pengantar awal, harus kita ingat lagi
bahwa Sholat adalah sarana untuk memuja Tuhan sebagai salah satu sikap bersyukur
dan sekaligus waktu untuk melakukan dialog, mengadukan semua keluh kesah yang
dialami dan mencari jalan keluar dari aneka ragam permasalahan yang ada. Lebih
jauh lagi ditinjau dari sisi metafisika, Sholat tidak ubahnya sebuah ritual
meditasi, pemusatan konsentrasi untuk menyelaraskan energi yang ada didalam
tubuh (energi statis) terhadap energi diluarnya yang maha besar (yang bersifat
dinamis).
Dengan demikian, saat sholat terjadi kita
sebenarnya sedang memancarkan sinyal-sinyal frekwensi terhadap alam semesta,
terhadap lingkungan kita dan menjangkau sinar-sinar kosmik ilahiah yang sifatnya
tak hingga. Karena itulah orang yang selalu melakukan sholat secara baik, dia
bisa terhindar dari energi negatif yang mencelakakannya atau menggiringnya
kedalam kehinaan.
Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar - Qs. 29 al-ankabut : 45
Sebelum memulai sholat, sudah menjadi
kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah
atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya
perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki – Qs. 5 al-Maaidah: 6
Dalam tradisi yang ada, teknis perintah
berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan
adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur,
menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian
tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam
al-Qur’an. Kita bisa membaca
dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan
oleh Nabi Muhammad sendiri sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri,
apalagi bila kita ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari
bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak
melekat. Apalagi ada kemungkinan besar orang-orang Arab itu gemar memelihara
jenggot sampai panjang kebawah, sementara al-Qur'an tidak memberikan informasi
mengenai boleh tidaknya membasahi janggut sewaktu berwudhu, sederhana dan sepele
kelihatannya, tetapi kita harus ingat, untuk urusan sepelepun terkadang kita
sering salah, apalagi jika kita lihat konteks ayat tersebut turun dimana para
pemeluk Islam generasi pertama masih dalam proses belajar agama yang baru mereka
anut, adalah wajar dan rasional sekali bila hal seperti ini memerlukan jawaban
atau contoh dari sipembawa ajaran itu sendiri.
Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta
bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tangannya kemudian
membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan didalam bejana, kemudian
berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua
tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh
kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata :
‘Aku melihat Rasulullah Saw
berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu,
kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan
tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap
kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi
Dari anas, bahwa
Nabi Saw apabila berwudhu maka mengambil seciduk air kemudian memasukkannya
dibawah cetaknya lalu ia menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku
memerintahkanku.’
– Riwayat Abu Daud
Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang
kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu
secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya.
Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama
misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok
gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk
melakukannya sebelum kita melakukan sholat.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau
bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman
(dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka
bersiwak setiap kali akan sholat. - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i,
Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami
Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu
menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun
cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih
atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan
air.
Dan jika kamu sakit atau habis buang air atau
kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari
debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena
sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha mengampuni. - Qs. 4
an-Nisaa’ 43
Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak
menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu
mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Istilah Allahu Akbar ini memang
tidak dijumpai dalam al-Qur’an, sebaliknya al-Qur’an memperkenalkan sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah
Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat
tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya.
Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata kerja (verb) didalam
bahasa Arab yang jika diucapkan (dilakukan) bisa menjadi Akbar, Istilah Takbirah
adalah bentuk noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai
dalam tradisi Arabia.
Surah 17:111 menyebutkan istilah yang artinya agungkanlah Dia dengan
pengagungan yang sebenar-benarnya (Kabbir takbiran) dan ini adalah bersamaan
maknanya dengan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Kita tidak bisa menolak istilah
Allahu Akbar seperti yang dijumpai dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh
sejumlah hadis hanya karena istilah ini tidak dijumpai didalam al-Qur'an,
apalagi menggantinya dengan istilah Allahu Kabir seperti yang dilakukan oleh
sejumlah orang ingkar sunnah. Terbukti didalam tradisi yang sampai kepada kita
dari generasi kegenerasi, tidak ada satupun terdengar berita dalam berbagai
saluran periwayatan bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan
Allahu Kabir didalam sholat.
Bersamaan waktunya dengan takbir, kita
mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, adapun salah satu hikmahnya
sebagai isyarat perpisahan sementara, meninggalkan urusan duniawi dan
mengembalikan semua urusan kepada Allah, Tuhan yang Maha Berkehendak.
Dari Ali bin Abu Thalib, dari Rasulullah Saw :
‘Sesungguhnya beliau apabila
berdiri untuk sholat wajib, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya
berbetulan dengan kedua pundaknya.’ – Riwayat Ahmad,
Abu Daud dan Tirmidzi
Dalam satu riwayat, sesungguhnya Rasulullah Saw
apabila takbir, ia mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan dengan kedua
telinganya. – Riwayat Ahmad
dan Muslim
Menurut riwayat Abu Daud dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dan Wail
bin Hujr, bahwa Nabi merapatkan antara jari-jari kedua tangannya itu dan Wail
berkata : ‘Sehingga
berbetulan punggung kedua telapak tangannya itu dengan pundak dan ujung-ujung
jarinya dengan telinga’
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Adalah Rasulullah
Saw bila berdiri untuk sholat, mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan
dengan kedua pundaknya itu lalu bertakbir. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan
Muslim
Dengan demkian maka posisi tangan saat takbir
adalah berada sejajar terhadap bahu dengan jari-jarinya sejajar dengan telinga.
Selanjutnya kedua tangan yang tadinya diangkat
diturunkan keposisi antara perut dan dada seraya membaca do’a iftitah atau do’a pembuka, dan salah satu dari
do’a pembuka yang juga sering
dibaca Nabi adalah sebagaimana diterangkan hadis berikut :
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata : Adalah
Nabi Saw bila berdiri sholat beliau membaca : “Wajjahtu Wajhiya Lilladzi
Fathorossamaawaatiwal ardho, haniefam muslimaw wamaa ana minal musrykin, inna
sholati wanusukie wamahyaaya wamamaatie lillaahi Robbil ‘Aalamin. Laa Syarikalah Wabidzalika
umirtu wa ana minal muslimin. Allahumma Antal Mulku Laailaaha ilaa Anta, Anta
Robbi Wa ana ‘Abduka,
Zholamtu Nafsi, Wa’taraftu
Bidzahbi Faghfirli Dzunubi Jami’an, ...(Kuhadapkan wajahku kepada dzat yang menjadikan langit dan
bumi dengan lurus dan penuh totalitas, bukanlah aku tergolong orang-orang yang
menyekutukan Allah. Sesungguhnya, Sholatku, Ibadahku, hidupku dan matiku adalah
untuk Allah, Tuhan yang mengatur alam semesta, tiada sekutu bagi-Nya dan untuk
itulah aku diperintah, dan aku adalah tergolong orang-orang yang Muslim. Ya
Allah ya Tuhanku. Engkau adalah raja yang tiada tuhan melainkan Engkau, Engkau
adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu, aku telah berbuat zalim kepada diriku
sendiri dan aku telah mengakui dosa-dosaku, karenanya ampunilah dosa-dosaku
semuanya).
Adapun menyangkut posisi kedua tangan, maka
tangan kanan berada diatas tangan kiri sebagaimana terdapat dalam beberapa
riwayat yang akan disebutkan. Pengaturan yang seperti ini bisa kita duga sebagai
bentuk sikap takzim dan hormat kepada Allah sipemilik kebenaran, layaknya dalam
kehidupan ini seorang tentara yang juga memiliki sikap takzim tertentu tatkala
ia menghadap seorang Jenderal atasannya :
Dari Ali, ia berkata : ‘Sesungguhnya salah satu dari tuntunan
Nabi mengenai Sholat, yaitu meletakkan telapak tangan diatas telapak tangan,
dibawah pusar’. - Riwayat
Ahmad dan Abu Daud
Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ia pernah sholat, lalu
ia meletakkan tangan kirinya diatas tangan kanan, kemudian perbuatannya itu
dilihat oleh Nabi Saw, lalu beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri
– Riwayat Abu Daud, Nasai dan
Ibnu Majah
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa dalam
sholat, pandangan mata kita seyogyanya tidak berpaling dari tempat sujud apalagi
sampai celingukan kesana kemari. Hal ini bisa kita terima secara logis, bahwa
dalam melakukan konsentrasi hal yang pertama harus kita lakukan adalah pemusatan
pikiran, seseorang tidak akan bisa konsentrasi selama dia tidak menyelaraskan
semua panca inderanya. Karena itu seorang ahli hypnotis selalu mengarahkan
obyeknya untuk fokus pada satu titik tertentu. Begitupun dengan sholat yang kita
memang diperintahkan untuk bersikap khusuk yaitu suatu sikap konsentrasi yang
diikuti oleh hati, gerakan tubuh dan pikiran.
Dari Abdullah bin az Zubair, ia berkata :
Adalah Rasulullah Saw apabila duduk dalam tahyat, beliau meletakkan tangan kanan
diatas pahanya yang kanan pula, sedang tangannya yang kiri diatas pahanya yang
kiri. Dan beliau berisyarat dengan telunjuknya, sedang pandangannya tidak
melebihi isyaratnya tersebut. – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Ahmad
Luruskan mukamu di setiap sholat dan sembahlah
Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu kepada-Nya - Qs. 7 al-a’raaf 29
Setelah membaca do’a iftitah maka kita diwajibkan untuk
membaca surah al-Fatihah sebagaimana bisa kita lihat dalam beberapa riwayat
hadis berikut ini :
Tidaklah sholat bagi orang yang tidak membaca
al-Fatihah – Riwayat Bukhari
dan Muslim
Tidak cukup sholat bagi orang yang tidak
membaca al-Fatihah – Riwayat
Daruquthni
Dari ‘Aisyah ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda :
‘Barangsiapa sholat dengan
tidak membaca Ummul Qur’an
(al-Fatihah), maka sholatnya itu tidak sempurna’ - Riwayat Ahmad dan Ibnu
Majah
Meskipun demikian dibeberapa riwayat lainnya
kewajiban membaca al-Fatihah ini bisa diganti dengan bacaan-bacaan lainnya bagi
mereka-mereka yang memang belum atau tidak bisa membaca ayat-ayat
al-Qur’an dengan baik (lafal
dan artinya), dalam konteks kita sekarang keringanan ini berlaku bagi para
muallaf atau orang-orang yang baru memeluk Islam dan sedang belajar
Sholat.
Dari Rifa’ah bin Rafi’, sesungguhnya Rasulullah Saw mengajar
sholat kepada seorang laki-laki, lalu ia bersabda : ‘Jika kamu bisa membaca Qur’an maka bacalah, tetapi jika tidak, maka
bacalah ‘alhamdulillah,
Allahu Akbar dan Laa ilaaha Illallah (Segala puji bagi Allah, Allah Maha Besar
dan Tiada tuhan selain Allah); kemudian ruku’lah – Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata :
Seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia berkata : ‘Aku tidak dapat membaca Qur’an sama sekali, oleh karena itu ajarlah
aku bacaan yang kiranya bisa mencukupi sholatku’, maka bersabdalah Nabi : ‘Bacalah : Subhanallah Walhamdulillah
Walaa ilaaha iLlaAllah Wallahu Akbar Walaa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah
(Maha Suci Allah dan segala puji bagi Allah, Tiada tuhan kecuali Allah dan Allah
Maha Besar, tiada daya upaya kecuali atas bantuan Allah) – Riwayat Ahmad, Abu Daud dan
Nasai
Membaca al-Fatihahpun menjadi tidak wajib saat
posisi seseorang menjadi makmum dari suatu sholat berjemaah.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw
telah bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan adalah untuk di-ikuti, karena itu
apabila ia telah takbir maka takbirlah kamu dan apabila ia sudah membaca maka
diamlah kamu’ – Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud
dan Nasai
Dari Abdullah bin Syaddad meriwayatkan,
sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda : ‘Barangsiapa sholat dibelakang imam, maka bacaan imam itu adalah
menjadi bacaannya’.
– Riwayat
Daruquthni
Cukuplah buatmu bacaan imam itu, baik dia
membacanya perlahan ataupun nyaring – Riwayat Khallal dan Daruquthni
Dijadikan imam itu hanya untuk di-ikuti,
lantaran itu apabila ia takbir hendaklah kamu takbir dan bila ia membaca
hendaklah kamu diam – Riwayat
Ahmad
Dari Abu hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw
setelah selesai mengerjakan Sholat yang ia keraskan bacaannya, lalu bertanya :
‘Apakah tadi ada seseorang
diantara kamu yang membaca bersama aku ? ‘ – maka
berkatalah seseorang : ‘Betul, ya Rasulullah ! kemudian Nabi bertanya : ‘Mengapa aku dilawan dengan
al-Qur’an ?’ – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi
Telah berkata Jabir : barangsiapa sholat satu
raka’at dengan tidak membaca
al-Fatihah maka tidak disebut Sholat kecuali dibelakang imam – Riwayat Malik
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Rasulullah Saw pernah sholat dirumahnya dalam
keadaan sakit, lalu beliau sholat dengan duduk. Dan datang sekelompok orang
sholat dibelakangnya dengan berdiri. Lalu Nabi memberi isyarat kepada mereka
‘hendaklah kalian
duduk’. Lalu ketika selesai
sholat, Nabi bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan supaya di-ikuti, karenanya bila ia
ruku’ maka ruku’lah dan bila ia mengangkat kepala maka
angkatlah kepala kalian, bila ia sholat dengan duduk maka sholatlah pula kalian
dengan duduk.’ – Riwayat Ahmad, Bukhari dan
Muslim
Memang ada beberapa hadis lain yang membuat
pengecualian membaca al-Fatihah dibelakang imam yang sedang membaca surah
al-Qur’an, namun penulis
menganggap hadis-hadis tersebut bertentangan secara nyata dengan hadis-hadis
diatas dan bahkan bertentangan dengan al-Qur’an sendiri yang mewajibkan kita diam saat
al-Qur’an dibacakan serta
secara rasio logikapun tidak bisa dibenarkan, sebab imam itu memang dijadikan
untuk kita ikuti, kita harus melakukan koreksi setiap bacaan yang keluar dari
mulut sang imam, jika memang ada salah maka kitapun wajib memperbaikinya,
sekarang bagaimana kita akan tahu imam salah atau tidaknya jika kita sendiri
sibuk membaca ayat al-Qur’an
dibelakang imam yang juga sedang membaca ayat al-Qur’an ? dimana pula letak rahmat yang kita
peroleh dari menentangkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu ?
Dan apabila Qur’an dibaca, maka perhatikanlah dan diamlah
agar kamu mendapatkan rahmat.- Qs. 7 al-‘A’raaf :
203
Surah al-Fatihah sendiri merupakan surah
pertama dalam al-Qur’an
meskipun ia bukan surah pertama yang turun kepada Nabi, didalam surah al-Fatihah
ini terdapat ayat-ayat pujian kepada Allah, ayat-ayat pengesaan akan dzat-Nya
serta ayat-ayat do’a atau
permohonan bantuan kita sebagai makhluk yang lemah terhadap Allah.
Surah al-Fatihah ini terdiri dari tujuh ayat
dan mengenai susunannya memang terdapat perbedaan dikalangan ulama Islam, apakah
ayat pertama dimulai dari Bismillah ataukah dimulai dari Alhamdulillah, namun
sebenarnya hal ini tidak perlu dipertentangkan karena dalam sebuah hadis yang
panjang dari Abu Hurairah riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah disebutkan bahwa al-Fatihah itu
dimulai dari Alhamdulillah, sementara bacaan Bismillah itu sendiri merupakan
bacaan pemisah dan pembuka antar ayat-ayat al-Qur’an kecuali surah al-Bara’ah, dengan demikian ayat
Bismillahhirrohmanirrohim ini bukan termasuk ayat al-Fatihah namun ia merupakan
ayat tersendiri, sama seperti didalam surah-surah al-Qur’an yang lainnya.
Alhamdulillahhirobbil ‘Alamin (segala
puji bagi Allah, Tuhan seluruh makhluk) – ayat 1
Arrohmanirrohim (Yang sangat pengasih dan penyayang)
– ayat 2
Maaliki yaumiddin (Yang menguasai hari pembalasan)
– ayat 3
Iyyakana’budu
waiyyakanasta’in (Hanya kepada-Mu saja kami mengabdi dan
hanya kepada-Mu kami memohon bantuan) – ayat 4
Ihdinassirotol mustaqim (Tunjukkanlah kami pada jalan kebenaran)
– ayat 5
Shirotolladzi na’anamta ’alaihim (Jalan
orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka)
– ayat 6
Ghoiril maghduubi ‘alaihim waladdhollien (bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan jalan orang yang
sesat) – ayat 7
Wassalam,
Armansyah
Belum ada tanggapan untuk "CARA SHOLAT"
Post a Comment